Lukman : PPDB Usai, Saatnya Fokus Pembelajaran
SERANG I DBC — Lebih dari sebulan yang lalu proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2019/2020 telah selesai digelar. Kali ini semua pihak diminta fokus dan mendukung proses kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah.
“Hiruk pikuk PPDB biarlah menjadi sebuah dinamika dalam prosesnya. Jika baik dan diterima, maka akan dilanjutkan, namun jika masih banyak dikeluhkan oleh sebagian masyarakat tentu akan menjadi pertimbangan agar kedepan sistem yang saat ini digunakan bisa diperbaiki kembali. Jadi ini akan menjadi bahan evaluasi untuk kami sampaikan kepada pimpinan,” kata Kepala KCD Pendidikan Kabupaten Tangerang Dindikbud Banten, Lukman saat ditemui di Kantor Dindikbud Banten, KP3B, Serang, Kamis (29/8).
Dijelaskan Lukman, PPDB merupakan salah satu rangkaian proses yang masuk dalam kalender pendidikan sebagai upaya menerima calon peserta didik baru yang telah lulus sekolah pada jenjang sebelumnya ke jenjang yang lebih tinggi.
“Karena ini masuk dalam kalender, maka jadwalnya sudah diatur, ketentuan dan syaratnya juga sudah ditentukan baik oleh dinas terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten maupun oleh pihak sekolah itu sendiri. Karena dalam PPDB itukan ada ketentuan umum dan adapula ketentuan khusus,” ucapnya.
Sehingga, kata Lukman, masyarakat dan orang tua siswa tidak bisa mengatur sendiri atau bahkan memaksakan kehendak karena misalnya ada anaknya, keponakannya atau keluarganya tidak diterima disebuah sekolah tertentu.
“Yaa itu karena semata-mata kami semua menjalankan sistem dan aturan yang ada. Tidak ada niatan yang lain,” ujarnya.
Jangan juga cuma gara-gara tidak bisa diterima disekolah tertentu, kata Lukman lagi, ada pihak-pihak yang memanfaatkan momentum bahwa seolah sekolah dan dinas telah melanggar HAM dan lain sebagainya karena dianggap tidak memberi ruang untuk melanjutkan pendidikan.
“Itu merupakan sebuah persepsi yang keliru. Sebab mereka tanpa mengerti sebab akibat tiba-tiba mengklaim sekolah dan dinas yang bersalah. Saya rasa tidak demikian yaa cara berpikirnya,” kata Lukman lagi.
Contoh ril yang bisa dijadikan pelajaran adalah kejadian di SMA Negeri 24 Kabupaten Tangerang.
Awal penerimaan sekolah dengan luas lahan 8 ribu meter itu menerima 10 rombel siswa. Namun karena animo yang sangat besar dari masyarakat maka sekolah bersepakat untuk menerima tambahan sebanyak 72 anak, namun setelah itu masih ada masyarakat yang berkeinginan keras untuk memasukan anaknya dan diperkuat rekomendasi Inspektorat Provinsi Banten melalui kesepakatan bersama akhirnya sekolah tersebut menerima seluruh calon siswa yang mendaftar yakni sebanyak 156 siswa.
“Sampai disitu sudah clear tuuh. Tapi entah bagaimana asalnya, setelah proses pembelajaran berjalan, tiba-tiba ada lagi 14 orang datang dan meminta agar anaknya bisa masuk ke SMA 24. Saya juga awalnya tidak tahu, karena ini tiba-tiba ramai, saya coba konfirmasi ke pihak sekolah,” beber Lukman.
Hasil konfirmasi, imbuh Lukman, pihak sekolah menjelaskan bahwa tiba-tiba ada orang yang bawa-bawa atau mengaku-mengaku-lah (seolah telah mendapat rekomendasi dari Pimpinan-red) dan ada satu orang komite yang tidak sejalan dengan komite-komite lainnya. Bahkan, imbuhnya lagi, ketika rapat kesepakatan di Inspektorat dia adalah salah seorang komite yang tidak hadir.
“Waktu itu saya menyarankan kalau memang sekolah masih memiliki rombel yang cukup, mengapa tidak. Tapi sayang rombelnya sudah penuh, bahkan dengan model kelas gemuk menyusul setelah perimaan 156 siswa dari target penerimaan 72 siswa itu,” beber Lukman.
Disamping alasan rombel yang gemuk, sambung Lukman, pihak sekolah juga menjelaskan bahwa jika 14 anak tetap dipaksakan masuk akan berdampak pada kondusifitas dan kenyamanan pembelajaran.
‘Karena semakin banyak siswa dalam satu rombel justru membuat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) akan menjadi tidak efekif” ungkapnya.
Selain itu, pihak sekolah menjelaskan bahwa saat ini KBM sudah berjalan lebih dari sebulan, ulangan dan proses pembelajaran lainnya juga sudah dilakukan. Dan tidak lama lagi akan digelar Ulangan Tengah Semester (UTS). “Masa hanya karena gara-gara 14 siswa, guru-guru, siswa dan sekolah harus mengulang proses pembelajaran dari awal. Kan tidak mungkin,” tandasnya.
Sebetulnya banyak solusi lain yang bisa ditempuh oleh para orang tua jika anaknya tidak diterima di sekolah yang dituju. Misalnya beralih ke sekolah lain yang masih memungkinkan menerima, kemudian setelah anak mengikuti pembelajaran selama setahun dan ingin mengajukan perpindahan, itu kan sah sah saja.
“Jadi dalam hal ini kami berharap orang tua siswa bisa legowo dengan ketentuan yang ada, sembari memberikan pemahaman kepada anaknya bahwa dimanapun sekolahnya kalau berprestasi pasti akan mampu mengharumkan nama sekolah tersebut. Jadi jangan putus asa dan tetap optimis mengejar mimpi serta cita-cita agar kelak menjadi manusia yang sukses,” harapnya. (ade gunawan)