Soal Penetapan PPTK BOSDA SMA/SMK, Kadindikbud Banten : Tak Ikuti Kebijakan, Kepsek Dipersilakan Mengundurkan Diri
DBC I Serang – Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten Engkos Kosasih Samanhudi mempersilahkan kepada sejumlah kepala sekolah baik SMA maupun SMK yang tidak mengikuti kebijakan dan aturan pimpinan untuk mengudurkan diri.
Engkos mengaku sudah biasa menerima saran dan masukan berbagai persoalan pendidikan dari kalangan akademisi, pengacara pendidikan, LSM termasuk para kepala sekolah.
“Demikian pula soal penetapan PPTK BOSDA SMA/SMK, saya baru saja menerima keluhan dan memberikan penjelasan kepada pengacara sekolah dari Tangerang,” katanya kepada wartawan di Kantor Dindikbud Banten, Jl. Syech Nawawi Al Bantani, KP3B Kota Serang, Kamis (21/2).
Disamping itu, Engkos juga mengaku sudah lama mendengar desas desus protes sejumlah kepala sekolah ihwal penetapan PPTK dengan hanya mengangkat dua orang.
Mereka adalah Teguh Renggayana ditunjuk sebagai PPTK BOSDA SMK Negeri dan SKh Negeri dan Zainul Hakim sebagai PPTK BOSDA SMA. Keduanya merupakan staf Pelaksana Pada Bidang SMK Dindikbud Banten (Rengga-red) dan Staf Pelaksana pada Bidang SMA Dindikbud Banten (Iim-red).
Keputusan itu, kata Engkos adalah bagian dari solusi yang dilakukan pihaknya dalam rangka percepatan pengelolaan anggaran BOSDA SMA/SMK di Banten.
Ia menjelaskan bagaimana proses kronologi hingga akhirnya diputuskan PPTK BOSDA SMA/SMK hanya dua orang.
Perlu diketahui, kata Engkos, jumlah sekolah negeri di Banten ini sebanyak 230 sekolah. Terdiri dari 75 SMK,148 SMA dan 7 SKh. Seluruh sekolah itu sudah diberi kesempatan lama untuk mengusulkan nama-nama calon PPTK.
“Hingga tenggat akhir, maka kami terimalah daftar calon usulan PPTK dari sekolah itu. Tapi rupanya dari 230 sekolah tidak semuanya mengirimkan nama. Untuk SMK misalnya, dari 75 sekolah yang mengirimkan nama hanya 28 sekolah. Demikian pula SMA yang jumlahnya 148 hanya mengirimkan 54 nama. Apalagi SKh tidak mengirimkan nama sama sekali” bebernya.
Jika dijumlah berdasarkan rata-rata berarti hanya 30 atau 40 persen saja sekolah-sekolah yang sudah siap untuk mengelola BOSDA secara mandiri. Sementara sisanya (70 persen) belum siap.
“Lalu sekolah-sekolah yang belum siap itu mau kita tinggalkan begitu saja, tentu tidak. Saya tetap harus mengambil keputusan berdasarkan solusi untuk semuanya. Karena saya tidak mikirin satu atau dua unit sekolah tapi bagaimana seluruh SMA/SMK/SKh negeri di Banten ini juga bisa mengelola BOSDA dengan baik dan lancar,” ucapnya.
Dijelaskan bahwa penetapan PPTK BOSDA SMA/SMK hanya dua orang ini juga dalam rangka memudahkan dalam pelaporan dan menghindari potensi korupsi.
“PPTK itu kan tidak megang anggaran. Mereka hanya membantu urusan teknis saja. Toh kepala sekolah sudah menjadi KPA (Kuasa Pengguna Anggaran-red) dan bendaharanya juga langsung dari sekolah. Jadi usulan dan pengelolaan BOSDA sepenuhnya menjadi urusan sekolah,” tukasnya.
Jadi, kata Engkos, jika masih ada kepala sekolah yang tidak mengindahkan kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan, maka silakan saja mengundurkan diri.
“Karena tujuan kita juga agar proses percepatan pengelolaan anggaran BOSDA ini bisa segera dilaksanakan,” harapnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dinamikabanten.co.id, hingga saat ini seluruh SMA/SMK Negeri Se-Banten (masih) belum mengajukan anggaran belanja apapun. Padahal tuntutan kebutuhan operasional pendidikan setiap hari tetap ada. Akibatnya hingga kini para guru honorer belum menerima honor mengajarnya. Mirisnya lagi beberapa sekolah sudah menerima surat peringatan pemutusan arus listrik dari PLN.
Jika merujuk pada Peraturan Gubernur nomer 31 tahun 2018 bab II pasal 9 tentang Pendidikan Gratis disebutkan bahwa “Dana Pendidikan Gratis diterima secara utuh oleh sekolah penerima dan dikelola secara mandiri oleh sekolah penerima dengan melibatkan dewan guru dan komite”.
Dalam realisasinya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten sempat mendapat apresiasi dari SMA/SMK yaitu dengan menunjuk kepala sekolah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tahun anggaran 2019. Namun kebijakan Dindikbud kembali dikeluhkan dengan menetapkan hanya dua orang PPTK dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten untuk mengurus BOSDA SMA/SMK/SKh se-Banten.
Ketua MKKS SMK Provinsi Banten, Lilik Hidayatullah mengatakan, sebenarnya apapun kebijakan pimpinan dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten akan tetap kami jalankan. Namun satu hal yang perlu kami tekankan adalah mampukah satu orang PPTK harus mengurus 75 SMK Negeri di Banten ini.
“SK PPTK BOSDA SMKN sudah ada dan itu sudah keputusan pimpiman. Kita ikuti saja. Hanya dengan PPTK satu orang menangani 75 SMKN akan ada kendala atau tidak ? Itu yang harus di fikirkan,” ujar Lilik yang juga kepala SMK Negeri 2 Kota Serang di Serang, Rabu (20/2/2019).
Sementara, kata Lilik, Petunjuk Teknis (Juknis) BOSDA SMA/SMK-nya saja hingga saat ini belum saya terima.
Diungkapkan Lilik bahwa pada tahun 2017 dan 2018 belanja modal yang untuk setiap sekolah pada umumnya tidak terserap. “Nah apalagi saat ini BOSDA yang nilainya 4 juta rupiah persiswa. Waaduh, saya meyakini jauh panggang dari api. Itu hal yang tidak masuk akal,” tukasnya.
Sebenarnya Lilik sempat merasa heran dengan ditetapkannya dua orang PPTK ini. Sebab sebelumnya dia bersama seluruh Kepala sekolah SMA dan SMK negeri mendapat surat edaran dari Dindikbud Banten melalui Plt. Sekdis, Ujang Rafiudin yang isi di dalam surat tersebut salah satu pointnya adalah agar mengusulkan nama PPTK BOSDA yang disetujui KCD masing-masing wilayahnya.
“Akhirnya kamipun menindaklanjuti surat tersebut dengan mengirimkan daftar usulan PPTK SMK Negeri untuk masing-masing sekolahnya. Setelah ditunggu-tunggu, yang keluar malah SK PPTK BOSDA hanya satu orang untuk SMK se Banten. Itupun langsung staf dari Dindikbud,” ucapnya.
Harus Terima Masukan
Sementara itu, Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan meminta agar Gubernur Banten mengumpulkan seluruh kepala sekolah baik SMA maupun SMK untuk duduk bareng bersama dinas terkait. Hal itu kata Fitron, dilakukan untuk meminta saran, masukan serta gagasan dari para kepala sekolah untuk berbagai persoalan teknis pendidikan di sekolah.
“Karena kepala sekolah yang mengerti berbagai masalah, kebutuhan maupun solusi yang ada di sekolahnya masing-masing. Artinya pola bottom-up harus tetap dipakai dalam mengambil sebuah kebijakan,” ujarnya melalui sambungan selular, Rabu (20/2/2019).
Jadi, kata Fitron kebijakan tidak hanya berdasarkan bersepsi dan gambaran dari atas saja (top-down). Karena pada kenyataannya banyak yang tidak sesuai dan menimbulkan masalah baru.
“Seperti yang sekarang saya terima keluhan dari para Kepala Sekolah. Hingga saat ini pencairan BOSDA lelet, para guru honorer belum pada dibayar. Apa mau seperti ini terus menerus dari tahun ketahun, tentunya tidak kan,” katanya.
Makanya, sambung Fitron, Dindikbud Banten harusnya mau dan bisa menerima berbagai masukan dari para kepala sekolah. Konsep pendidikan gratis sudah sangat baik. Oleh karenanya harus diikuti dengan pengelolaan yang profesonal dari para pejabat serta pegawai terkait. Agar pendidikan di Banten semakin membaik.
(Ade Gunawan)