Dilema Kepala Daerah Soal UMP 2019, Antara Sanksi Pemecatan dan Tuntutan Serikat Buruh

OLEH : Ade Gunawan

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen.

Kenaikan ini berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 per tanggal 15 Oktober 2018.

Selain soal perhitungan besaran kenaikan, di dalam SE tersebut juga memuat soal sanksi yang akan dikenakan oleh para kepala daerah yang tidak menetapkan kenaikan UMP-nya sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.

Seperti dikutip dari SE tersebut,‎ sanksi bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional antara lain:

a. Dalam pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak malaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk Gubemur dan/atau Wakil Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau wakil Wali Kota.

b. Dalam hal teguran tertulis telah disampaikan 2 kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 bulan.

c. Selanjutnya apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah lelah selesai menjalani pemberhentian sementara. tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

SE ini juga menyebutkan, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 juga diatur bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diberhentikan sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), pasal 80 dan pasal 81.

“Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas. diminta bantuan Saudara (Gubernur) untuk dapat menyampaikan data dan informasi dimaksud kepada Bupati dan Wali kota serta Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota di wilayah Saudara,” tandas SE tersebut.

Sementara itu, serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen.

Kenaikan ini berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 per tanggal 15 Oktober 2018. ‎

“Buruh terang-terangan menolak kenaikan upah minimum 2019 sebesar 8,03 persen. Sebab kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh makin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal belum lama ini.

Padahal secara bersamaan, lanjut dia, di tengah melemahnya rupiah terhadap dolar AS dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensi membuat harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik.

“Apalagi, sekarang harga BBM jenis Pertamax sudah mengalami kenaikan. Efeknya, apabila Premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya,” ungkap dia.

Oleh karena itu KSPI mengusulkan kenaikan upah minimum adalah berkisar 20 persen-25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan.

“Kenaikan UMP yang hanya 8,03 persen tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang yang oleh Rizal Ramli diperkirakan akan terjadi bulan Desember 2018. Padahal upah minimum mulai berlaku Januari 2019,” tandas dia.

Dikutip dari Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 per tanggal 15 Oktober 2018.

“Data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan produk domestik bruto) yang akan digunakan untuk menghitung upah minimum tahun 2019 bersumber dari Badan Pusar Statistik Republik IndonesIa (BPS RI),” bunyi SE tersebut seperti yang diterima dinamikabanten.co.id di Serang, Senin (22/10).

Berdasarkan Surat Kepala BPS RI Nomor B-216/BPS/1000/10/2018 Tanggal 4 Oktober 2018. lnflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu pertama Inflasi Nasional sebesar 2,88 persen‎ dan kedua Pertumbuhan Ekonomi Nasional (Pertumbuhan PDB) sebesar 5,15 persen‎.

“Dengan demikian, kenaikan UMP dan/atau UMK Tahun 2019 berdasarkan data Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional yaitu 8,03 persen,” tandas SE tersebut.

Kabid HI dan Jamsostek, Erwin Syafrudin memimpin rapat Dewan Pengupahan di Aula Disnakertrans Provinsi Banten belum lama ini.

Kabid HI dan Jamsostek Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten, Erwin Syafrudin mengaku situasi ini secara tidak langsung menjadi sesuatu yang dilema bagi Gubernur dan Wakil Gubernur serta seluruh kepala daerah di Banten.

Pasalnya, kata Erwin, disatu sisi kita sudah menerima Surat Edaran terkait kenaikan UMP 2019 yang dipatok pada angka 8,03 persen dengan berbagai aturan, ketentuan serta sejumlah sanksi-sanksi didalamnya.

Namun disisi lain, lanjut Erwin, penolakan atas keputusan penetapan UMP 8,03 persen tahun 2019 tersebut juga mulai muncul dari beberapa serikat buruh.

Erwin menuturkan pihaknya jauh-jauh hari telah berupaya melakukan koordinasi dan konsolidasi melalui rapat Dewan Pengupahan yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu. Hal itu dilakukan, selain untuk mendengar berbagai masukan dan saran dari stakeholder (Apindo, Serikat Buruh dan Serikat Pekerja, Pemerintah dan Akademisi-red) terkait UMP 2019 juga dalam rangka mewujudkan hubungan industrial yang kondusif dan harmonis di wilayah Provinsi Banten.

“Lalu apa saja hasil pertemuan yang kita lakukan bersama Dewan Pengupahan itu, memang ada beberapa point. Ya seperti biasa kalau Apindo tetap berpegang teguh pada aturan yang ada. Sementara sebaliknya Serikat buruh dan Serikat Pekerja tetap menolak PP 78 dan meninginkan adanya revisi terhadap regulasi tersebut,” beber Erwin kepada dinamikabanten.co.id di Serang, Selasa (22/10/2018).

Semua point itu, sambungnya, kita tuangkan dalam rekomendasi yang sudah disampaikan kepada Menaker, Gubernur dan Bupati/Walikota se- Provinsi Banten. Tetapi sampai saat ini, rekomendasi yang kita sampaikan khususnya point revisi PP 78 belum mendapat respon dari Menaker.

“Dengan demikian, itu artinya secara faktual PP 78 masih berlaku dan kita gunakan sebagai dasar hukum penetapan UMP tahun 2019 dan jika tidak aral melintang UMP 2019 yang ditetapkan pada angka 8,03 persen akan dilakukan atau dipublish pada 1 Nopember 2018,” tukilnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *